Rabu, 15 Oktober 2008

BELAJAR ISTIQOMAH

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada pula berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan”. ( Q.S. Al-Ahqâf/46: 13-14.)

Ketika Rasulullah SAW. diminta oleh salah seorang sahabat untuk menjelaskan bagaimana beragama Islam yang baik, maka dengan kata-kata singkat beliau memerintahkan agar sahabat itu beriman kepada Allah dan beristiqamah. Dua kata-kata yang singkat dan mudah diucapkan, îmân dan istiqâmah, tapi mengandung makna yang sangat dalam yang tidak semua orang dapat melaksanakannya. Jumhur ulama memahami îmân sebagai suatu sikap yang meliputi keyakinan dalam hati, ucapan lisan, dan perbuatan oleh seluruh anggota tubuh. Sedangkan istiqâmah dipahami sebagai teguh pendirian, mempunyai prinsip, dan terus menerus dalam ketaatan melaksanakan amal saleh.

Dalam diri setiap muslim pusat keimanan terletak di dalam qalb (hati). Karena sifat hati yang selalu berubah-ubah, sebagaimana arti kata qalb itu sendiri, maka keimanan yang berada didalamnya dapat mengalami perubahan-perubahan. Itulah maka iman itu dapat bertambah dan berkurang. Semakin bersih seorang membersihkan hatinya, yang oleh Imam al-Ghazali digambarkan sebagai sebuah cermin, maka semakin bertambah tingkat keimanannya karena cahaya Illahi dapat memantulkan sinar terang ke dalam dirinya. Tapi bila seorang semakin malas membersihkan cermin hatinya itu dan membiarkannya dikotori oleh tebalnya debu kemaksiatan, maka semakin kurang dan menipis keimanan dalam hatinya karena pantulan cahaya Illahi sudah tidak tampak lagi.

Karena watak hati yang berubah-rubah sehingga mengakibatkan keimanan dapat bertambah dan berkurang, maka kita dituntut untuk memelihara hati itu agar selalu beristiqamah. Yaitu keteguhan hati dalam memegang teguh keimanan, mempunyai prinsip yang tegas dalam membela kebenaran, dan kecintaan terhadap setiap amal saleh secara terus menerus dan untuk semua orang. Bukan suatu keimanan sesaat, membela kebenaran kalau ada kepentingan pribadi atau kelompok, dan hanya bersikap angin-anginan dalam beramal saleh.

Agar istiqamah itu dapat tercapai, maka kita harus melatih diri kita secara sungguh-sungguh, berusaha agar setiap amal perbuatan kita diikuti dengan tiga rangkaian kata ijtihad, mujahadah, dan jihad. Dengan berijtihad kita dapat memastikan bahwa tindakan kita adalah suatu pilihan terbaik setelah melalui pertimbangan-pertimbangan yang mendalam. Tindakan itu harus diikuti dengan mujahadah (upaya yang sungguh-sungguh) dan terus menerus jangan sampai berhenti di tengah jalan. Dan tentu saja semuanya harus disertai dengan jihad (suatu perjuangan keras yang berkesinambungan) yang membutuhkan pengorbanan-pengorbanan dalam berbagai bentuk, seperti: tenaga, harta, pikiran, bahkan nyawa. Tanpa tiga hal itu, sulit rasanya istiqamah dapat terwujud dalam kehidupan kita.

Rasanya istiqamah harus dijadikan sebagai budaya setiap muslim. Kita semestinya sudah bosan dengan sikap plin-plan yang selalu kita lakukan. Sehari berkata begini, besoknya berkata begitu. Seminggu berbuat baik selebihnya kemaksiatan dikerjakan. Hati kita sering luluh dan hanyut ke dalam keindahan dunia, kenikmatan materi, dan bau harum kekuasaan. Kita sering tidak mampu meneguhkan hati dan memegang prinsip untuk berkata “tidak” terhadap keserakahan, kebiadaban, dan kezaliman. Sudah saatnya kita kembali kepada pesan Rasulullah SAW.: “memperteguh keimanan, kemudian beristiqamah”, dan itu artinya kita telah melaksanakan petunjuk agama secara benar dan akan mendapatkan balasan sebagaimana yang telah dijanjikan Allah dalam firman-Nya. Insyâ Allâh. Amien.

Menghargai Waktu

"Demi masa, sesungguhnya manusia itu dalam keadaan merugi, kecuali orang-orang yang beriman, beramal shalih, saling nasihat-menasihati dalam kebenaran dan kesabaran”. Q.S. al-‘Ashr: 1-3.

Dalam sebuah polling di Amerika diketahui ternyata mayoritas bangsa Amerika merasa bahwa tidak bekerja, menganggur, dan hidup santai, adalah bagian yang dibenci dan bahkan mereka merasa itu adalah suatu dosa. Dalam istilah terkenal dalam bahasa Inggris pun kita kenal dengan the time is money, sebuah ungkapan betapa pentingnya memanfaatkan waktu hingga dapat menghasilkan uang sebanyak-banyaknya.

Dalam Islam tujuan hidup bukan sekadar mencari uang (baca: mencari kebahagiaan materi), namun lebih dari itu agar dapat mendapatkan kebahagiaan materi dan ruhani, duniawi dan ukhrawi (fiddunyâ hasanah wa fil âkhirati hasanah). Oleh karena itu Islam sangat menghargai waktu agar dapat dimanfaatkan secara maksimal dalam rangka mendapatkan dua tujuan sekaligus. Bila hanya ingin mendapatkan satu tujuan saja kita tidak dapat bersikap santai dalam hidup, apalagi bila hendak meraih kedua tujuan di atas.

Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari mengatakan bahwa Rasulullah bersabda: “Jadilah kamu di dunia seperti seorang asing atau seperti orang yang melewati suatu jalan. Kalau kamu berada pada waktu sore, maka janganlah menunggu waktu pagi. Dan kalau kamu berada pada waktu pagi, maka janganlah menunggu waktu sore. Pergunakanlah masa sehatmu guna persiapan waktu sakit, dan pergunakanlah masa hidupmu untuk persiapan waktu matimu. H.R. al-Bukhari.

Yang sering terjadi pada kita justru sebaliknya. Di saat sehat, kita lupa bahwa suatu ketika akan sakit. Ketika masih muda, kita lalai bahwa nanti akan menjadi tua. Ketika kaya, kita lupa bahwa mungkin akan bangkrut dan jatuh miskin. Ketika berkuasa, kita lupa bahwa kekuasaan itu sementara. Ketika tertawa, kita lupa suatu saat akan menangis. Ketika hidup, kita lupa pada akhirnya pasti mati. Kita kemudian lupa untuk bersyukur, mendekatkan diri kepada Allah, beribadah sebanyak-banyaknya, lupa menolong orang lain, lupa untuk membela agama Allah, dan lupa mempersiapkan bekal untuk kehidupan yang kekal. Kita lebih senang menghambur-hamburkan waktu untuk menuruti hawa nafsu, sebagaimana kita pun sering terlena dibuai waktu dalam kegemerlapan duniawi. Waktu kita habis terbuang sia-sia, hanya untuk melakukan hal-hal remeh dan menuju kepada kemaksiatan.

Sebuah pepatah Arab mengatakan: “Waktu ibarat pedang, kalau ia tidak kamu pergunakan sebaik-baiknya, maka ia dapat memenggal dirimu”. Karena lengah dalam memanfaatkan waktu, kita kehilangan kesempatan emas. Kita sering gagal karena tidak dapat mengatur waktu dengan baik. Kita dipenggal oleh waktu karena lengah memanfaatkannya.

Kita harus membiasakan memahami betapa berharganya waktu. Betapa sukses dan gagal ditentukan oleh kemampuan kita dalam menggunakan waktu. Dan betapa sikap meremehkan waktu sebagai sikap hina yang tidak disukai oleh semua orang beriman.

Senin, 13 Oktober 2008

M U T I A R A H I K M A H

Bersyukurlah jika kamu menderita,
sebab Allah sedang menguji keimananmu.

Bersyukurlah jika Kamu kecewa,
sebab Allah lebih tahu apa yang kamu butuhkan.

Bersyukurlah jika Kamu menangis,
sebab Allah telah memberimu kesempatan untuk merenung.

Bersyukurlah jika kamu takut,
sebab Allah ingin menghapus dosamu.

WASPADALAH JIKA KAMU BAHAGIA,
SEBAB ITU ADALAH COBAAN TERSULIT DI MANA KAMU MUNGKIN AKAN MULAI MELUPAKAN SEGALA RASA SYUKUR ITU.